Rabu, 23 Juli 2025

Anak Muda NTT yang "Lari" dari Lahan: Kekhawatiran Masa Depan Pertanian di Tengah Tren Global Berkebun

 Anak Muda NTT yang "Lari" dari Lahan: Kekhawatiran Masa Depan Pertanian di Tengah Tren Global Berkebun 

Opini

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), sektor pertanian dan perkebunan menghadapi tantangan serius: regenerasi petani yang mandek. Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT 2023 menunjukkan bahwa 61,3% petani di NTT berusia di atas 45 tahun, sementara petani muda (di bawah 35 tahun) hanya 12,5%. Fenomena ini diperparah oleh penurunan minat generasi muda untuk menjadi petani, didorong oleh persepsi bahwa bertani identik dengan kemiskinan, kerja keras, dan ketidakpastian hasil.  

Faktor Penyebab: Generasi Muda yang "Tidak Mau Kotor" dan Orang Tua yang "Memaksa Anak Keluar dari Sawah"

Survei BPS 2022 mengungkap bahwa 72% orang tua petani di NTT tidak ingin anaknya melanjutkan profesi mereka. Alasannya beragam:  

1. Pendapatan tidak stabil– Rata-rata pendapatan petani NTT hanya Rp 1,2-1,8 juta per bulan (BPS, 2023), jauh di bawah upah buruh kota.  

2. Akses pendidikan yang lebih baik – Anak-anak petani lebih memilih merantau atau bekerja di sektor jasa.  

3. Stigma negatif – Bertani dianggap sebagai pekerjaan "keterpaksaan", bukan profesi yang menjanjikan.  

Di sisi lain, dunia justru mengalami tren sebaliknya: orang-orang kaya global beralih ke pertanian dan perkebunan. Bill Gates, pemilik lahan pertanian terbesar di AS, Jeff Bezos dengan investasi pertanian vertikal, dan selebriti seperti Kim Kardashian yang mempromosikan gaya hidup "back to farming" menunjukkan bahwa pertanian modern justru menjadi bisnis menggiurkan dengan teknologi dan manajemen tepat guna.  

Dampak 10-15 Tahun ke Depan: Krisis Pangan dan Ketergantungan Impor 

Jika regenerasi petani tidak segera diatasi, NTT berpotensi menghadapi:  

1. Penurunan produktivitas pertanian – Lahan subur terbengkalai karena kurangnya tenaga muda.  

2. Ketergantungan pada impor pangan– Saat ini, NTT masih mengimpor beras, jagung, dan kedelai dari luar daerah. Jika petani semakin menua tanpa regenerasi, ketergantungan ini akan semakin parah.  

3. Punahnya kearifan lokal pertanian– Teknik bercocok tanam tradisional seperti "Sasi" (sistem pengelolaan lahan adat) bisa hilang karena tidak ada penerus.  

Solusi: Membuat Pertanian Menjadi "Keren" dan Menguntungkan  

Agar anak muda tertarik kembali ke sektor pertanian, diperlukan:  

- Pertanian berbasis teknologi (smart farming, drone penyiram, e-commerce hasil tani).  

- Pendidikan vokasi pertanian yang link-and-match dengan industri.  

- Insentif finansial seperti akses modal mudah dan asuransi pertanian.  

Jika tidak ada perubahan, NTT akan kehilangan generasi petani baru—sementara di belahan dunia lain, pertanian justru menjadi primadona investasi. 

Pertanyaan besarnya:
"Maukah kita membiarkan tanah NTT diurus hanya oleh para lansia, sementara anak mudanya menjadi buruh di kota atau TKI? "

Data Referensi:  

- BPS NTT (2023), Statistik Pertanian Provinsi NTT.  

- BPS RI (2022), *Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).  

- The Land Report (2023), Bill Gates: America’s Biggest Farmland Owner.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Identifikasi Mikoriza